Minggu, 15 Juni 2008

Melihat Kemungkaran: Tingkatan Keimanan Muslim

زالفان شاهنشه: يرى هذا الحديث
عن أبي سعيد الحضري رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "من رأى منكم منكرا فاليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان" (رواه مسلم). اشرح هذا الحديث شرحا موجزا ثم بيّن رأيك فيما قام به المدعو أمرازي ! وهل هذا من فقه تغيير المنكر ؟
هذا الحديث يدل على وجوب تغيير المكنر مع قدرة الذي رءاه. قال بعض العلماء إن المراد بكلمة "من رأى" في وجوب تغيير المنكر حتى يراه بالعين وإلا فلا يجب، وينَزّل السمع المحقق منزلة الرأي بالعين، فإذا سمع سماعا محققا؛ كأن يسمع صوت الرجل والإمرأة في خلوة محرمة سماعا محققا، يعرف بيقين أن هذا محرم، فإنه يجب عليه الإنكار؛ لتنْزيل منْزلة النظر. وأما المراد بترتيب تغيير المنكرات سواء أكان باليد أو اللسان أو القلب فأرى أن هناك عبارة لا سيما فى كوننا نعيش فى المجتمع المنظّم كالدولة أو البلد، فوجوب تغيير المنكر باليد يقع على الأمراء أو رجال الحكومة لما لديهم السلطة والواجبات على ترتيب أمور المجتمع فلديهم الحق لإتيان العقاب على من أنكر. وأما المراد بتغيير المنكر باللسان فإنه يقع على العلماء و الدعاة لما لديهم العلوم الدينية الواجب تبليغها نحو الأمة، إذاً وجب عليهم تغيير المنكر بالقول و الدعوة أو التعليم الديني. وأما ترتيب تغيير المنكر الأخير وهو بالقلب يقع على عامة الناس أي للذين ليس لهم السلطة يغيرون المنكرات بها أو هم يعرفون أن قولهم لن يسمعه المنكرون، فيكفيهم إنكار أعمال المنكرات أمامهم بالقلوب فقط ولا يصح لهذا الصنف تغيير المنكرات بأيديهم أو بشيء ماليس لهم خوفا من أن يقع الشر الآخر، فقد قيل الشر لا يزال بالشر. ومن هنا أري أن الذي تصرفه المدعو أمرازي فى طريقة تغييره المنكرات ليس من عمل صالح بل قد لوّث سمعة الإسلام؛ يريد أن يضيع الشر والمنكرات و يأتي بالفسد وهذا أمر جهل. وبنسبة ترتيب الإيمان، فأري أن من أضعف الإيمان لا يتعلق بأصناف الناس الثلاثة السابق بيانها؛ يعني ليس إيمان عامة الناس ضعيف بل أضعف لما يغيرون المكنرات بقلوبهم فقط، لا بأيديهم لأنهم طبعا لا حق عندهم. والمراد بضعف الإيمان هنا للصنفين الأولين؛ الأول للأمراء، لهم القوة والسلطة بإمكانهم تغيير المكنرات بهما لكنهم لا يعملونه بهما، فقط بالقول أو بالقلب ولا يؤتي العقاب للمنكِر. والثاني للعلماء والدعاة الذين لهم العلوم الواجب تبليغه نحو الأمة، لكنهم لا يقوم بواجباتهم؛ بالتعليم والدعوة حين يرون المكنرات، هم يعترضون المنكرات بقلوبهم فقط، فمنزلة إيمانهم ضعيف بل أضعف. وأما أمرازي فإنه ليس من الأمراء فلا حق له لتصحيح ما عمل، ويمكن أنه من العلماء أو الدعاة، فحده فى تغيير المنكرات لا يزيد إلا بالتعليم أو التبليغ أو الدعوة فقط لا غير. والله أعلم بالصواب

Selasa, 27 Mei 2008

KH. Maftuh Sa'id

Membicarakan wacana pendidikan dan pengajaran di PP. Al-Munawwariyyah, tak bisa mengabaikan sosok KH. Muh. Maftuh Sa’id. Perjuangan dan pengorbanannya dalam merintis pesantren yang berlokasi di desa Sudimoro Bululawang ini cukup alot dan panjang, hingga bisa menjadi seperti saat ini. Semenjak awal berdirinya pesantren pada tahun 1983; dari mengayomi beberapa santri yang mengaji al-Qur’an, tanpa ada lembaga pendidikan, hingga saat ini berhasil mendirikan setidaknya lima lembaga; SD, SMP, SMA, Madrasah Islamiyah, Tarbiyatul Qur’an Al-Munawwariyyah. Sudah ribuan santrinya yang tamat dan menyebar ke seantero tanah air, bahkan tidak sedikit yang meneruskan studi ke Timur Tengah.
Bagi KH. Maftuh, kualitas pendidikan santri merupakan kewajiban yang harus terus diperhatikan dan sebisa mungkin dikembangkan. Beliau sadar betul akan pentingnya pendidikan pada zaman ini; bukan sekedar untuk mendapatkan pengakuan melalui Ijazah, lebih dari itu, sebagai upaya ikut serta mencerdaskan bangsa.
Sehingga, walaupun tidak pernah merasakan tamat sekolah dasar, tapi pengasuh Al-Munawwariyyah ini bertekad sebisa mungkin menyediakan lembaga pendidikan formal bagi para santrinya setinggi mungkin. Walau masih sebatas angan, tapi tetap menjadi tekad sosok tauladan kita ke depan, agar kelak dapat berdiri universitas dari “rahim” Al-Munawwariyyah.

Sosok Pribadi
KH. Muh. Maftuh Sa’id lahir di sebuah daerah pinggir sungai Bengawan Solo, tepatnya di desa Ngaren Bungah, Kab. Gresik. Beliau adalah putra pertama dari pasangan almagfur lahu KH. Sa’id Mu’in dan Nyai Hj. Mardliyah. Dalam perjalanan hidupnya, Kiai Maftuh kecil pernah mengenyam pendidikan: Sekolah Rakyat (SR) di Bungah Gresik, pada tahun 1956. Namun, hanya sampai kelas empat saja. Setelah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya dari sang ayah, beliau meneruskan pendidikan agama ke Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri, selama 9 tahun. Tepatnya sejak 1964 sampai 1973.
Penderitaan dan kesedihan seakan sudah menjadi “teman” Kiai Maftuh kecil saat mondok di Al-Falah. Dari pengakuannya dalam banyak kesempatan saat mulang santri, Kiai Maftuh kecil tidak jarang menunggu belas kasihan teman-temannya waktu itu, untuk bisa ikut makan bareng; menunggu ada yang menyuruhnya untuk membelikan atau mengerjakan sesuatu. Selain termasuk dari keluarga kurang mampu, waktu itu pengasuh termasuk santri yang paling kecil. Maka tidak heran, jika hampir semua santri mengenalnya. Namun, kelebihannya dari teman-temannya kala itu, adalah hafalan Qur’annya pada usia yang sangat dini.

Usratul Huffadz
Seperti sudah disinggung di atas, KH. Muh. Maftuh Sa'id adalah putra pertama dari tiga belas bersaudara yang saat ini tinggal sebelas orang, pasangan Asy-syekh Al-Hafidz KH. Muh. Sa'id Mu’in dan Nyai Hj. Mardliyyah yang tinggal di Gresik. Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa keluarga besar ini adalah usratul Huffadz yaitu keluarga para penghafal Al-Qur'an.
Dari kesaksian para santri dan kerabat, bahwa KH. Muh. Sa'id, semasa hidupnya, sangat "galak” dan keras mendidik putra-putri dan para santrinya dalam membaca dan menghafal Al-Qur'an. Hasilnya, seluruh putra dan putri beliau dan hampir semua santrinya telah hafal Al-Qur’an. Sebuah kenyataan yang sukar dicari padanannya. Ini tidak lain, karena kedisiplinan sang ayah dalam mendidik.
Kedisiplinan KH. Muh. Sa’id Mu’in dalam mengajarkan Al-Qur’an juga diakui oleh para Kiai besar di masanya. Menurut pengakuan Nyai Hj. Mardliyyah, bahwa Alm. KH. Hamid Pasuruan memberikan julukan "asadul Qur'an" (harimaunya Al-Qur'an) kepada KH. Muh. Sa’id Mu’in. Kiranya sifat inilah yang "mengalir" kepada putra sulung beliau KH. Muh. Maftuh Sa'id; telah menyelesaikan hafalan Qur'annya pada usia 9 tahun. Serta "kegarangan" dalam mengajarkan cara membaca dan menghafal Al-Qur'an.
Karena “keberhasilan” asy-Syekh al-Hafidz Sa’id dalam menerapkan sistem tahfidzil Qur’an, tidak sedikit para pengasuh pondok-pondok besar se-Indonesia yang datang kepada beliau; memohon restu dan ijin membuka lembaga Tahfidul Qur’an di pondok mereka masing-masing. Kenyataan ini juga diakui oleh pengasuh PP. Al-Amin, KH. Moh. Idris Djauhari; datang bertandang ke kediaman KH. Muh. Sa’id Muin, memohon restu saat akan membuka program ‘Ma’had Tahfidz’ di Al-Amien, Prenduan Sumenep Madura.
Setelah menikah dengan Nyai Hj. Marfuatun, putri KH. Mahfudz rahimahuAllahu, dari Kepanjen Malang, Kiai Maftuh muda tinggal untuk sementara waktu di Kepanjen, sebelum selanjutnya hijrah ke desa Sudimoro Bululawang Malang.

Hijrah ke Desa Sudimoro
Banyak sebab yang menjadi perantara hijrahnya Kiai Maftuh muda ke Bululawang Malang, tepatnya di desa Sudimoro. Namun yang pasti, ini adalah taqdir Allah SWT. yang mengirim dan menempatkan beliau untuk membina masyarakat desa Sudimoro dan sekitarnya.
Kira-kira pada pertengahan tahun 1980-an, KH. Muh. Maftuh Sa'id muda bersama seorang istri dan ketiga anaknya; Nurul Hafshah, Muh. Agus Fahim dan Hanifah Sa’diyyah, hijrah ke desa Sudimoro, dan menempati sebuah rumah kontrakan yang sangat sederhana. Di rumah inilah untuk pertama kali KH. Maftuh Sa'id mengikuti jejak ayahandanya, mendidik putra-putrinya menghafal Al-Qur'an.
Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, banyak masyarakat yang ingin menitipkan anak-anak mereka untuk dididik membaca dan menghafal Al-Qur'an. Karena, pada waktu itu, jangankan untuk menghafal, bisa membaca Al-Qur'an dengan baik saja, pada usia dini, sudah menjadi nilai tambah di tengah masyarakat.
Ketenaran KH. Muh Maftuh Sa'id sebagai pendidik membaca dan menghafal Al-Qur'an-pun kian tersebar bukan hanya di daerah Malang saja, tapi hampir seluruh pelosok Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan terus bertambahnya para santri dari seluruh penjuru nusantara.


Sekilas Tentang Pesantren
Pondok pesantren Al-Munawwariyah didirikan oleh KH. Muh. Maftuh Sa'id pada tanggal 28 Juli 1983 M, bertepatan dengan tanggal 7 Syawal 1402 H. Dari pengakuan jujur beliau saat awal merintis, sebenarnya tidak ada niatan untuk mendirikan pondok pesantren yang sebesar dan semegah seperti saat ini. Bahkan dalam banyak kesempatan, dengan merendahkan diri, Kiai Maftuh sering menyatakan bahwa kesuksesan pembangunan fisik pondok cuma berpedoman pada ‘kurdi’, kepanjangan dari sukur dadi (yang penting jadi).
Pedoman tersebut mungkin berlaku bagi hampir semua pembangunan fisik pondok. Saat dirasa sudah tidak memadai lagi untuk para santri dan santriwati, maka segeralah dibangun gedung baru yang jika ditanya dari mana dananya, dengan yakin dan mantap beliau menjawab: "dari Allah SWT."
Sampai saat ini, bangunan fisik yang telah berdiri di atas tanah pondok seluas 1,5 Ha, dari luas tanah keseluruhan 3,5 Ha. Dengan seizin Allah, pengasuh sudah mulai berencana akan melebarkan “sayap” bangunan fisik pesantren ke sisi sebelah utara pondok yang ada saat ini. Harapan ke depan, lokasi pondok untuk santri akan benar-benar terpisah dari lokasi pondok santriwati.

Kamis, 24 April 2008

Kajian Utama Edisi Perdana

Oleh: Zulfan Syahansyah*
….mencukupkan pemahaman Islam dari apa yang telah dihasilkan para ulama terdahulu, menggambarkan realita kemandekan bernalar, bahkan mengkerdilkan makna Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin. Islam harus tetap kita yakini akan selalu sejalan dengan realita kehidupan hingga akhir zaman. Sebuah keyakinan yang berdampak pada ranah sinergitas ijtihad.
Masalahnya kemudian, akal sering dijadikan senjata oleh sebagian kelompok manusia secara berlebihan, hingga melupakan realita keterbatasannya. Menjadikan akal sebagai standar mutlak kebenaran dan menafikan bimbingan ilahi melalui wahyu, tak ubahnya “memupuk” benih sikap sombong yang rentan menjurus pada kehancuran.
Pendahuluan
Penulis membayangkan pemikiran Islam saat ini mirip sebuah terminal besar dengan puluhan bahkan ratusan bus angkutan umum yang sedang parkir menunggu calon penumpang. Di sana kita temukan penjajah “tiket” Islam melewati jalur Cak Nur. Ada juga loket yang menawarkan Islam lewat jurusan Gus Dur. Ada sebuah loket lain yang ramai didatangi orang, terutama anak-anak muda; di sana kita lihat tujuan Islam sebagaimana ditafsirkan oleh Ustaz Ja’far Umar ditawarkan. Ada lagi loket yang menjajahkan tiket Islam ala Nasr Hamid Abu Zeid, Muhammad Arkoun, Abid Al Jabiri, Sayyid Qutb, Yusuf Qardlawi, Ali Syari’ati, dan tiket-tiket bus jalur “pintas” juga ramai dikerubuti oleh para mahasiswa.
Semua loket itu ramai didatangi oleh para calon penumpang yang rata-rata para anak muda. Memang bisa dimaklumi, anak-anak muda dengan darah mudanya, masih mempunyai semangat besar untuk melewati jurusan-jurusan yang mereka anggap baru. Orang-orang tua yang sudah mapan dan terbiasa melewati jalur tertentu, biasanya kurang minat untuk beralih jalur lain yang kian ramai dan padat itu. Kalangan sepuh sudah cukup nrimo menumpang bus Islam yang sudah menjadi langganan sejak nenek dan kakek mereka. Orang-orang tua biasanya tidak perlu lagi melewati jalur-jalur baru menuju Islam yang belum tentu terjamin “keselamatannya”.
Gambaran ini jelas hanya merupakan cara untuk menerangkan bagaimana hidupnya diskursus pemikiran Islam yang berkembang di kalangan muslimin Indonesia atau bahkan seantero alam saat ini. Pandangan-pandangan yang berbeda saling berebut menarik celah dalam perdebatan publik yang makin hidup dan bersemangat. Orang-orang Islam saat ini dengan mudah melakukan semacam “rayuan-rayuan”: memakai satu cara ke cara lain, dengan satu tafsir ke tafsir yang lain. Tidak jarang terjadi perdebatan di kalangan para “penjajah tiket” yang tidak searah, namun tujuan sama, untuk menarik simpatisan publik. Hal ini tidak lain karena faktor perbedaan cara berfikir, termasuk teori yang dipakai dalam menafsirkan sumber-sumber Islam; al-Qur’an dan Hadits.
Problem yang kemudian mengedepan, adalah terus meluasnya dampak “perang” wacana keislaman dalam menjalankan keberagamaan. Dalam hal ini, setidaknya, ada dua kubu besar yang saling “berhadapan”. Pertama, kelompok yang mencukupkan ajaran tekstual agama: menjadikan apa yang telah tertulis sebagai aturan baku tak tertawar dengan mengkebiri kreatifitas berfikir dalam berijtihad. Dan kedua, kelompok yang terlalu menuhankan akal pemikiran, hingga berupaya mengakalkan Tuhan. Yang pertama kita kenal sebagai kelompok Islam Literal fundamental, dan lainnya kita sebut kelompok Islam Liberal atau pemikir bebas. Baik kelompok Literal atau Liberal, sama-sama merasa paling benar.. Pertanyaannya, apa dan bagaimana semestinya upaya yang harus kita lakukan dalam rangka membentengi akidah?

Keharusan Terus Belajar
Menyadari kenyataan di atas, hal terpenting yang harus selalu kita ingat sebagai seorang muslim, bahwa Islam adalah agama Allah. Karenanya se­tiap usaha untuk memahami agama Islam, maka juga bermakna percobaan untuk memahami kehendak Allah, percobaan untuk memetik sebagian dari ilmu Allah. Dalam Al-Quran surat Al-Kahfi dilukiskan bah­wa ilmu Allah luas tak terhing­ga. Sedemikan luasnya, sehingga sean­dainya seluruh lautan dijadikan tinta untuk menulis ilmu Allah, maka ia akan habis sebelum ilmu Allah habis (QS., 18:109). Ini sekaligus menjadi isyarat bahwa tidak ada jaminan bagi kita untuk dapat menguasai seluruh pengeta­huan yang diberikan oleh Allah, sebab hanya Dia yang pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.
Oleh karena-nya, kita harus terus be­lajar, dan setiap yang kita capai da­lam belajar, sama sekali tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang final. Karena anggapan sema­cam itu, selain merefleksikan kes­em­purnaan, juga mengisyaratkan bah­wa kita telah meliputi seluruh pengetahuan Allah SWT. Suatu anggapan yang bahkan bertentangan dengan iman kita sendiri: bahwa Allah adalah Dzat Maha Tahu, dan di atas setiap orang yang tahu ada Dia Yang Maha Tahu. Realita inilah yang mensyaratkan bagi penuntut ilmu untuk selalu tawadhdhu‘ (rendah hati), yaitu sebuah sikap pengakuan dan kesadaran bahwa diri kita sendiri belum dan tidak akan pernah sempurna. Bahkan Rasulullah pun, sebagai makh­luk yang kita yakini paling sempurna, masih dibimbing oleh Allah supaya berdoa agar ilmunya ditambah, Katakanlah, “Tuhanku, berilah tam­bahan ilmu kepadaku” (QS., 20: 114). Jadi, Jika Rasulullah yang ma’sum (mendapat penjagaan langsung dari Allah), diperintah untuk terus belajar, apalagi kita sebagai umatnya!?
Maka wajar jika Nabi memerintahkan kepada kita agar terus menuntut ilmu sejak lahir hingga ajal menjemput. Tidak pernah ada kata cukup dalam memahami ilmu termasuk agama Allah. Maka, mencukupkan pemahaman Islam dari apa yang telah dihasilkan para ulama terdahulu, meggambarkan realita kemandekan bernalar, bahkan mengkerdilkan makna Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin. Islam harus tetap kita yakini akan selalu sejalan dengan realita kehidupan hingga akhir zaman. Sebuah keyakinan yang berdampak pada ranah sinergitas ijtihad.

Membentengi Pemikiran dengan Keimanan
Benar jika dikatakan bahwa keunggulan manusia dengan makhluk lainnya adalah penganugrahan akal fikiran. Pemberian Allah yang hanya dikhususkan bagi anak Adam, sebagai modal utama menjadi khalifah Allah di muka bumi: satu hal yang pernah diragukan oleh para Malaikat, namun ditampik tegas oleh Allah. (QS. 2:30)
Masalahnya kemudian, akal sering dijadikan senjata oleh sebagian kelompok manusia secara berlebihan, hingga melupakan realita keterbatasannya. Menjadikan akal sebagai standar mutlak kebenaran dan menafikan bimbingan ilahi melalui wahyu, tak ubahnya “memupuk” benih sikap sombong yang rentan menjurus pada kehancuran. Kenyataan inilah yang digambarkan dalam al-Qur’an ketika Iblis dengan kecongkakannya menafikan otoritas perintah tegas dari Allah untuk bersujud di hadapan Nabi Adam as, hanya karena beranggapan penciptaannya lebih mulia dari Adam. (QS. 2:34)
Jadi, di tengah tuntutan berijtihad, keimanan harus menjadi pijakan dasar: sebagai syarat mutlak ketundukan pada otoritas Tuhan. Karena tanpa keimanan, capaian kreatifitas berfikir, tidak akan menyadarkan diri akan kemahakuasaan Allah, tapi sebaliknya justru semakin menyuburkan benih kesombongan pribadi. (QS. 10:101)
Tepat sekali jika Asy-Syahrastani dalam kitabnya, al-Ahwa’ wa an-Nihl menggambarkan Iblis sebagai prototipe pemikir bebas; yang pertama kali dilaknat, karena dia menggunakan kekuatan nalar untuk persoalan yang tidak dapat diatur oleh nalar. Dari sini penulis cenderung membayangkan kehancuran yang tak terelak saat kebebasan berfikir tanpa dibatasi keimanan dijadikan amunisi dalam kehidupan beragama.
Sebuah kenyataan yang kerap dilakoni oleh mereka yang belakangan ini menamakan diri sebagai komunitas pemikir Islam Liberal, yang bahkan bertentangan dengan pernyataan Cak Nur, sapaan akrab Nurcholis Madjid, dalam pengakuannya tentang banyak hal, karena keterbatasan akal, tidak bisa dinalar. Ia hanya bisa diimani tanpa membutuhkan teori ilmiyah.
Lebih tegas tokoh yang di jadikan ikon Liberalisasi Islam di Indonesia ini menyatakan, seperti yang ditulis oleh Budhy Munawwar Rachman dalam bukunya Ensiklopedi Nurcholish Madjid Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, bahwa ada bagian-bagian yang tidak mungkin diterang­kan secara ilmiah; semua ini harus dengan percaya saja. Malaikat digambarkan sebagai makhluk yang terbuat dari cahaya. dalam bahasa Einstein, Malai­kat itu dari energi. Tentu ini termasuk bagian-bagian yang ilmiah, artinya tidak perlu diimani. Cuma perlu diketahui bahwa tugas Malaikat itu tidak bisa digambarkan oleh manusia, karena menyangkut hal yang hanya bisa dikerjakan oleh Allah, seperti mengirim wahyu dan sebagainya. Dan masih banyak lagi contoh keyakinan yang sama sekali tidak dibutuhkan metode-metode ilmiyah untuk membuktikannya.
Intinya, sehebat apapun konstribusi akal dalam kehidupan, kesadaran bahwa itu merupakan secuil anugrah ilmu Allah SWT, harus kuat terpatri dalam kalbu sebagai landasan teologi keimanan. Inilah beberapa argumen yang penulis maksudkan dalam wacana menyelaraskan antara keimanan dan progresifitas berfikir.
Sebagai penutup, berikut penulis ketengahkan janji Allah dalam al-Qur’an, yang menyatakan bahwa suatu umat akan mencapai keunggulan yang sangat tinggi jika dapat menyelaraskan antara iman dan ilmu sekaligus. Ayat tersebut:
Æìsùötƒ … ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_u‘yŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz
“niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 58: 11). Wallhu a’lam bisshawab.

*Pengurus sekaligus pengajar
Di PP. Al-Munawwariyyah